INTEGRASI SEKTOR PERTANIAN DAN PARIWISATA DALAM PERSPEKTIF PETANI: IMPLIKASINYA TERHADAP KEMISKINAN DI WILAYAH PEDESAAN NTT
Abstract
Sektor pertanian merupakan tulang punggung ekonomi Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan sebagai penyerap tenaga kerja utama di wilayah ini (BPS Provinsi NTT, 2024). Ketahanan sektor ini terbukti selama pandemi COVID-19, ketika sektor pertanian tetap menunjukkan pertumbuhan positif, sementara sektor lain mengalami kontraksi. Di sisi lain, sektor pariwisata kini menjadi fokus pembangunan daerah, terutama sejak penetapan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata premium nasional (Anju & Rohana, 2021; Hirodias et al., 2022). Kedua sektor ini memiliki potensi sinergi yang besar dalam mendorong pembangunan inklusif dan pengurangan kemiskinan serta stunting di wilayah pedesaan .
Artikel ini didasarkan pada hasil Focus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam dengan petani di Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Pengumpulan data dilakukan sejak Juni hingga September 2025. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menggali persepsi petani terhadap peluang dan tantangan integrasi sektor pertanian dan pariwisata. Analisa data menggunakan analisis tematik (Saldana, 2011)
Petani menyadari potensi ekonomi dari keterlibatan dalam rantai pasok pariwisata, seperti penyediaan produk segar untuk hotel dan restoran. Namun, hubungan jangka panjang yang telah terjalin dengan pedagang pengumpul tetap menjadi preferensi utama. Pedagang pengumpul dianggap lebih dapat diandalkan dalam hal kontinuitas pembelian, fleksibilitas pembayaran, dan dukungan sosial (Larsen & Bærenholdt, 2019; Nunkoo, 2017). Meskipun pelaku pariwisata menawarkan harga lebih tinggi, mereka belum mampu menggantikan fungsi sosial yang ditawarkan pedagang pengumpul.
Integrasi sektor pertanian dan pariwisata berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal melalui diversifikasi pendapatan dan peningkatan akses pasar. Namun, integrasi ini tidak dapat dilakukan secara instan. Penguatan kemitraan antar pelaku—petani, pedagang pengumpul, pelaku pariwisata, dan pemerintah daerah—merupakan langkah awal yang krusial. Tanpa pendekatan kolaboratif dan pemetaan peran yang jelas, integrasi ini berisiko menciptakan ketimpangan baru dan konflik kepentingan (Macbeth et al., 2004).
Integrasi sektor pertanian dan pariwisata di NTT memiliki potensi besar untuk menekan angka kemiskinan dan stunting, namun harus dimulai dengan penguatan kemitraan lokal dan pemahaman terhadap dinamika sosial-ekonomi petani. Pemerintah daerah perlu merancang kebijakan intersektoral yang inklusif, menyediakan pelatihan berbasis komunitas, dan mendorong model bisnis yang adil dan berkelanjutan. Pendekatan partisipatif dan berbasis relasi sosial menjadi kunci keberhasilan integrasi ini.