DETEKSI PRRSV DENGAN INDIRECT ELISA: GAMBARAN SEROPREVALENSI PADA TERNAK BABI DI KOTA KUPANG
Abstract
Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) adalah salah satu penyakit paling merugikan dalam industri peternakan babi di dunia disebabkan oleh virus PRRS (Mesa et al., 2024), menimbulkan kerugian ekonomi akibat kematian anak babi, penurunan performa reproduksi, serta meningkatnya biaya pengobatan (Pileri and Mateu, 2016). Telah dilaporkan kasus gangguan reproduksi dan respirasi menyerupai gejala PRRS di beberapa sentra produksi babi (NTT, 2023), sehingga perlu kajian terbaru untuk memberikan gambaran situasi terkini terkait PRRS. Metode deteksi antibodi PRRSV dengan uji indirect Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) memberikan keakuratan lebih tinggi dalam mendeteksi antibodi spesifik dan bersifat evidence-based surveillance (Rimayanti et al., 2024), terutama di daerah dengan keterbatasan laboratorium molekuler, seperti NTT.
Penelitian menggunakan pendekatan observasional analitik dengan desain cross-sectional. Secara consecutive sampling. Sebanyak 129 sampel serum darah diambil dari RPH Oeba dan peternakan rakyat di Kota Kupang, dan diuji dengan ELISA Kit (Cat. No. E-AD-E006). Hasil positif/negatif sampel ditentukan dari nilai OD dan S/P dibandingkan nilai cut-off, selanjutnya dianalisis dengan uji chi-square dengan bantuan SPSS® Ver. 26, dan dideskripsikan secara kualitatif.
Hasil analisis menunjukkan 60 sampel (46,5%) terdeteksi seropositif PRRS, dengan 57 dari 87 sampel (65,5%) asal RPH dinyatakan positif, sementara hanya 3 dari 42 (7,1%) sampel positif dari peternakan rakyat (P<0,001). Walaupun demikian data serologi saja dianggap tidak cukup untuk memetakan infeksi strain yang ada tanpa dukungan data vaksinasi dan karakterisasi antigen isolat virus (Pan et al., 2023). ). Hasil penelitian juga menunjukkan pentingnya metode uji yang mampu membedakan antara infeksi alami dan respon vaksin untuk surveilans yang akurat. Tingginya persentase seropositif RPH menunjukkan kemungkinan adanya sirkulasi virus pada rantai pemotongan dan sistem pasokan RPH. Hal tersebut juga berarti kemungkinan indikasi tingginya infeksi virus di lapangan, atau sebaliknya merupakan dampak keberhasilan vaksinasi, tentunya masih memerlukan kajian lanjutan dengan data vaksinasi, cakupan wilayah dan sampel lebih besar. Pengendalian efektif tentunya memerlukan strategi terintegrasi, mencakup optimasi vaksinasi, biosekuriti, karakterisasi isolat dan pengembangan vaksin terbaru. Program pengendalian berorientasi kawasan serta kolaborasi antar pemangku kepentingan juga penting dilakukan (Suartha et al., 2013; Taira et al., 2025).
Hasil uji ELISA menunjukkan beda signifikan (P<0,001) dalam seroprevalensi PRRS pada babi di RPH (65,5%), lebih tinggi dibandingkan peternakan rakyat (7,1%), menunjukkan kemungkinan RPH sebagai titik kritis sirkulasi virus. Pengawasan lalu lintas ternak, biosekuriti dan pemantauan serologis berkelanjutan seharusnya mampu memitigasi penyebaran PRRSV di wilayah tersebut.