KAJIAN FISIOLOGIS DAN AGRONOMIS FASE GENERATIF PADI PADA CEKAMAN SUHU TINGGI UNTUK IDENTIFIKASI SIFAT TOLERANSI
Abstract
Perubahan iklim global telah menjadi ancaman nyata bagi ketahanan pangan dunia, khususnya di daerah beriklim kering seperti Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), suhu rata-rata di wilayah ini telah meningkat 0,8-1,2°C dalam tiga dekade terakhir, dengan tren kenaikan yang semakin cepat dalam lima tahun terakhir. Penelitian terbaru oleh Zhao et al. (2022) mengkonfirmasi bahwa kenaikan suhu 1°C di atas optimal dapat menurunkan hasil padi hingga 10%, dengan dampak lebih parah di daerah tropis kering. Mekanisme penurunan hasil ini terutama melalui proses sterilitas pollen, percepatan perkembangan fenologi, dan peningkatan respirasi nokturnal. Studi ini bertujuan mengidentifikasi varietas padi yang adaptif terhadap cekaman suhu tinggi melalui pendekatan eksperimental menggunakan Rancangan Petak Terbagi. Tujuh varietas padi yang umum dibudidayakan di Nusa Tenggara Timur diuji dalam dua lingkungan suhu berbeda: kondisi screenhouse (suhu tinggi) dan lapangan terbuka (kontrol). Pemilihan varietas didasarkan pada keragaman genetik dan potensi adaptasinya, mencakup varietas unggul nasional dan lokal. Hasil pengamatan selama 12 minggu setelah tanam (MST) menunjukkan variasi respons yang menarik antarvarietas. Analisis statistik mengungkapkan pengaruh sangat signifikan (p<0,01) varietas terhadap semua parameter pertumbuhan. Varietas Inpari 42 dan Pratiwi konsisten menunjukkan performa terbaik dengan tinggi tanaman mencapai 56,17 cm dan 55,58 cm. Keunggulan ini tidak lepas dari karakter genetik kedua varietas yang memiliki sistem perakaran dalam dan efisiensi penggunaan air tinggi, sebagaimana dilaporkan dalam penelitian Puteh et al. (2020). Sementara itu, varietas MR 219 mencatatkan jumlah anakan tertinggi (20,00), mengindikasikan potensi produktivitas yang baik. Namun, temuan Farooq et al. (2021) mengingatkan bahwa tingginya jumlah anakan tidak selalu berkorelasi positif dengan hasil akhir. Faktor lain seperti keserempakan pemasakan, persentase gabah isi, dan berat 1000 butir justru lebih determinan dalam menentukan hasil panen akhir. Dalam konteks ini, pengamatan lebih lanjut hingga fase generatif menjadi sangat penting. Aspek fisiologis tanaman juga menunjukkan respons yang variatif. Varietas Cakrabuana mencatat indeks kehijauan daun tertinggi (5,80), yang mengindikasikan kandungan klorofil dan kapasitas fotosintesis yang optimal. Namun, varietas ini justru menunjukkan jumlah anakan yang relatif rendah, menunjukkan adanya trade-off dalam alokasi asimilat. Fenomena ini sesuai dengan teori optimalisasi sumber daya yang dikemukakan oleh Dewi et al. (2023), di mana tanaman akan mengalokasikan sumber daya terbatasnya pada proses fisiologis yang paling menguntungkan bagi kelangsungan hidupnya. Yang menarik, kondisi suhu tinggi dalam screenhouse (rata-rata 32°C) justru meningkatkan performa beberapa varietas dalam hal akumulasi biomassa batang. Varietas Inpari 42 menunjukkan peningkatan bobot kering batang sebesar 25% dibandingkan kontrol. Temuan ini didukung penelitian Jagadish et al. (2019) yang menjelaskan mekanisme aklimatisasi tanaman padi terhadap suhu tinggi melalui modulasi sistem antioksidan dan stabilisasi membran sel. Beberapa genotipe tertentu memiliki kemampuan untuk mengaktifkan gen heat shock protein (HSP) yang berperan dalam proteostasis seluler under heat stress. Analisis interaksi antara suhu dan varietas mengungkapkan pola yang kompleks. Interaksi signifikan (p<0,05) teramati pada parameter bobot basah dan kering batang, menunjukkan variasi respons spesifik-genotip terhadap perubahan suhu. Varietas Ciherang menunjukkan respons yang stabil across lingkungan, sementara Inpari 42 justru lebih responsif terhadap perubahan suhu. Karakteristik ini menurut laporan BMKG (2023) sangat berharga untuk pengembangan sistem peringatan dini dan kalender tanam adaptif. Implikasi praktis dari penelitian ini menekankan pentingnya pendekatan spesifik-lokasi dalam rekomendasi varietas. Berdasarkan hasil evaluasi multidimensi, varietas Inpari 42 dan Pratiwi direkomendasikan untuk daerah dengan fluktuasi suhu tinggi dan ketersediaan air terbatas. Sementara MR 219 cocok untuk sistem intensifikasi dengan pengelolaan air yang optimal. Keterbatasan penelitian ini terutama pada durasi pengamatan yang hanya mencakup fase vegetatif. Evaluasi menyeluruh hingga fase generatif diperlukan untuk mendapatkan gambaran komprehensif tentang respons varietas terhadap cekaman suhu tinggi. Ke depan, integrasi pemuliaan konvensional dengan pendekatan genomik dan bioteknologi menjadi keniscayaan. Program pemuliaan partisipatif yang melibatkan petani dalam seleksi varietas perlu diintensifkan. Inovasi teknologi seperti sensor IoT untuk monitoring real-time dan prediksi hasil berdasarkan data iklim juga perlu dikembangkan untuk mendukung pertanian presisi di era perubahan iklim.