PREVALENSI STRONGYLOIDIASIS PADA KAMBING KACANG (Capra hircus) DI HAMPARAN PERSAWAHAN KELURAHAN OESAO KABUPATEN KUPANG
Abstract
Peternak kambing di Kelurahan Oesao mempunyai kebiasaan memindahkan ternaknya ke areal persawahan Oesao setelah musim panen padi dengan merubah pola pemeliharaannya dari ekstensif menjadi sistem penambatan di lahan persawahan. Hal ini menyebabkan perubahan pola pakan, dari browsing ke grazing sehingga berdampak pada gangguan pencernaannya berupa diare. Salah satu jenis endoparasit yang menimbulkan gejala diare pada kambing adalah Strongyloides sp. (Romero et al., 2022). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan prevalensi strongyloidiasis pada kambing kacang di hamparan persawahan Kelurahan Oesao. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar acuan bagi tenaga medis veteriner di lingkup Kabupaten Kupang dalam pengendalian infeksi endoparasit tersebut.
Pengambilan sampel feses kambing kacang diambil sebanyak 15 sampel di persawahan Oesao, secara acak dengan tidak membedakan umur dan jenis kelamin. Metode pengapungan; feses diambil ± 3 gram ditambah aquades 5 mL dan digerus, gerusan disaring, supensinya dimasukkan ke dalam tabung reaksi sampai volumenya ¾ bagian dan disentrifuse dengan kecepatan 1500 rpm selama 2 menit. Tabung diambil dan supernatan dibuang, endapan feses ditambahkan NaCl jenuh sampai volumenya ¾ tabung. Disentrifugasi dengan kecepatan dan waktu yang sama. Tabung diambil dan ditempatkan pada rak tabung dengan posisi tegak lurus, ditetesi NaCl jenuh sampai permukaannya cembung, didiamkan selama 2 – 3 menit. Objek glass disentuhkan pada permukaan cairan yang cembung tersebut, segera dibalik, ditutup dengan cover glass. diperiksa dengan mikroskop pembesaran 350 kali, (Anne M. Zajac and Gary A. Conboy, 2012). Identifikasi morfologi telur cacing mengacu pada (Thienpont et al., 2003). Prevalensi dihitung menggunakan rumus: Jumlah sampel positif/jumlah keseluruhan sampel x 100%.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dari 15 sampel feses, teridentifikasi sampel positif terinfeksi Strongyloides spp. Tingginya prevalensi ini didukung oleh 3 faktor, yaitu jalur transmisi, sumber pakan, interaksi di antara ternak ruminansia. Infeksi Strongyloides spp., ditransmisi secara oral dan kulit sehingga ternak kambing berpeluang terinfeksi lebih tinggi dibandingkan dengan cacing dari kelas nematoda yang lainnya. Sesuai dengan pendapat (Thamsborg et al., 2017), anak kuda yang terinfeksi oleh larva infektif Strongyloides sp., baik melalui kulit maupun tertelan bersama dengan sumber pakan akan bermigrasi ke paru-paru melalui sistem peredaran darah.
Berdasarkan observasi di lapangan, ditemukan beberapa ternak kambing mengalami diare, hal ini kemungkinan disebabkan oleh Strongyloidiasis. Sesuai dengan pendapat (Romero et al., 2022), melaporkan bahwa dua puluh kasus strongyloidiasis menunjukkan gejala klinis diantaranya: nyeri perut, diare, dan gatal-gatal pada kulit. Sumber pakan yang lebih dominan rerumputan di areal persawahan Oesao, merupakan salah satu tempat yang ideal sebagai sumber penularan infeksi endoparasit gastrointestinal. Sesuai dengan pendapat (Gasparina et al., 2021), pada daerah subtropik larva infektif nematoda (Haemonchus contortus) mampu bermigrasi ke rerumputan yang lain tanpa mengenal waktu pada musim panas. Interaksi di antara ternak ruminansia berpeluang sangat tinggi terjadinya infeksi silang. Sesuai pendapat (Beaumelle et al., 2024), ungulata liar dan domestik dapat terinfeksi dengan spesies nematoda yang sama.
Strongyloidiasis pada Capra hircus di areal persawahan Oesao dengan tingkat prevalensi 100%. Faktor-faktor pendukung tingkat prevalensi ini, di antaranya: jalur transmisi, sumber pakan, dan interaksi di antara ternak ruminansia.