EVALUASI SIFAT FISIK DAN SUHU SILASE KOMBINASI LIMBAH BUAH JAMBU METE DAN RUMPUT LAUT SEBAGAI PAKAN ADITIF RUMINANSIA
Abstract
Sektor peternakan ruminansia menghadapi tantangan serius berupa emisi gas metana (CH₄) dari fermentasi enterik, dengan potensi pemanasan global 84 kali lebih besar daripada CO₂ (Widiawati et al., 2025). Di sisi lain, Indonesia menghasilkan limbah pertanian dan perikanan yang melimpah, seperti limbah buah jambu mete dan rumput laut (Eucheuma cottonii), yang belum dimanfaatkan secara optimal. Kedua limbah ini mengandung senyawa bioaktif; tanin dan flavonoid pada jambu mete serta polisakarida sulfat pada rumput laut, yang dilaporkan berpotensi menghambat produksi metana (Jayanegara et al., 2020). Penelitian ini bertujuan mengevaluasi sifat fisik dan suhu silase dari kombinasi kedua bahan tersebut untuk mengidentifikasi formulasi optimal sebagai pakan aditif ramah lingkungan.
Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan berupa variasi konsentrasi limbah buah jambu mete (LBJM) dan rumput laut (0%, 20%, 30%, 40%) yang dicampur dengan rumput raja sebagai bahan dasar, ditambah dedak, molases, dan EM4. Campuran kemudian difermentasi dalam kantong kedap udara selama 21 hari. Parameter yang diukur meliputi sifat fisik (warna, bau, tekstur, pertumbuhan jamur) menggunakan skala penilaian 1-5, serta suhu fermentasi. Data dianalisis secara statistik dengan ANOVA dan uji lanjut Tukey HSD.
Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan (P<0,001) pada parameter warna dan pertumbuhan jamur, serta perbedaan signifikan (P<0,05) pada parameter tekstur silase. Parameter bau tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P>0,05) antar semua perlakuan. Pengukuran suhu menunjukkan variasi antarperlakuan dengan kisaran 27,6-31,2°C. Perlakuan A1 mencatat suhu tertinggi (31,2°C), sedangkan perlakuan F3 mencatat suhu terendah (27,6°C). Berdasarkan analisis komprehensif, perlakuan F3 yang merupakan kombinasi 30% rumput laut dan 30% limbah jambu mete menunjukkan performa terbaik dengan rata-rata skor keseluruhan 4,30. Perlakuan ini mencatat skor warna 4,60, bau 4,53, tekstur 4,33, dan pertumbuhan jamur 3,73. Perlakuan A1 juga menunjukkan performa yang baik dengan skor rata-rata 4,22, terutama unggul dalam parameter pertumbuhan jamur dengan skor 4,20. Hasil uji lanjut Tukey HSD mengonfirmasi bahwa perlakuan F3 secara signifikan lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya dalam parameter tekstur dan warna.
Keunggulan perlakuan F3 pada warna mengindikasikan terjadinya proses fermentasi yang optimal tanpa oksidasi berlebihan. Hal ini didukung oleh suhu fermentasinya yang terendah, yang mengindikasikan tidak adanya aktivitas mikrobial berlebih yang dapat menurunkan kualitas silase (Zhao et al., 2025). Stabilitas parameter bau pada semua perlakuan menunjukkan konsistensi produksi asam laktat oleh bakteri fermentasi. Skor pertumbuhan jamur yang baik pada F3 menunjukkan stabilitas aerobik yang baik, diduga akibat efek sinergis senyawa antimikroba dari tanin (jambu mete) dan polisakarida sulfat (rumput laut) (Hidayah et al., 2022). Dengan demikian, formulasi F3 tidak hanya menghasilkan silase dengan karakteristik fisik yang optimal, tetapi juga berpotensi sebagai pakan aditif antimetana karena kandungan senyawa bioaktifnya yang dapat menghambat archaea metanogen dalam rumen (Kú-Vera et al., 2020).
Berdasarkan hasil dan pembahasan, disimpulkan bahwa kombinasi limbah buah jambu mete dan rumput laut mampu menghasilkan silase dengan karakteristik fisik yang optimal. Perlakuan F3 (30% rumput laut dan 30% limbah jambu mete) terbukti merupakan formulasi terbaik dengan skor kualitas tinggi dan suhu fermentasi terendah. Untuk pengembangan lebih lanjut, disarankan dilakukan uji in vitro untuk memvalidasi efektivitas formulasi F3 dalam mengurangi produksi gas metana, serta evaluasi parameter nutrisi yang lebih komprehensif. Implementasi hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan pakan aditif ramah lingkungan yang bersumber dari limbah lokal.