PERAN EKOLOGI TUMBUHAN DALAM SKEMA PERHUTANAN SOSIAL: STUDI KASUS KELOMPOK TANI HUTAN FETOMNASI
Abstract
Kerangka pemikiran mengenai peran sentral tumbuhan dalam skema perhutanan sosial menemukan relevansinya ketika diterapkan di Desa Sillu, Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Kawasan ini merupakan sumber penghidupan masyarakat sekitar hutan (Dako et al., 2023), namun menghadapi tekanan ekologi akibat perambahan, perladangan berpindah, kebakaran, penggembalaan liar, dan konversi lahan (Arka et al., 2024). Untuk mengatasinya, pemerintah mendorong percepatan skema perhutanan sosial melalui pembentukan beberapa Kelompok Tani Hutan (KTH), salah satunya KTH Fetomnasi. Namun di balik berbagai inisiatif pemberdayaan dan pengelolaan hutan bersama masyarakat di atas, pemahaman ilmiah mengenai kondisi ekologi tumbuhan di Desa Sillu belum banyak mendapat perhatian. Kajian-kajian sebelumnya di wilayah tersebut lebih menyoroti perubahan tutupan lahan, partisipasi masyarakat, dan konflik pemanfaatan hutan (Arka et al., 2024; Koreh et al., 2020). Penelitian ini bertujuan menganalisis struktur komunitas tumbuhan sebagai dasar ilmiah penguatan pengelolaan perhutanan sosial yang berkelanjutan di Desa Sillu. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Petak Ukur (PU) berbentuk persegi dengan variasi ukuran sesuai tingkat pertumbuhan vegetasi: 2 m × 2 m untuk tingkat semai, 5 m × 5 m untuk tingkat pancang, 10 m × 10 m untuk tingkat tiang, serta 20 m × 20 m untuk tingkat pohon. Total PU yang diamati berjumlah 24 unit, disesuaikan dengan jumlah anggota Kelompok Tani Fetumnasi sebagai lokasi penelitian. Data vegetasi yang terkumpul kemudian dianalisis untuk menghitung Indeks Nilai Penting (INP) mengacu pada Ellenberg dan Mueller-Dombois (1974), serta Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) mengikuti Magurran (2013).
Nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) pada tingkat semai dan tiang di kawasan Kelompok Tani Hutan (KTH) Fetomnasi, Desa Sillu, tergolong sedang dengan nilai masing-masing 1,439 dan 1,848. Pada tingkat pancang dan pohon, nilai H’ lebih tinggi, yaitu 2,185 dan 2,144, menunjukkan kategori sedang hingga tinggi. Keanekaragaman tinggi mencerminkan jumlah individu antarspesies yang seimbang tanpa dominasi tertentu, sedangkan keanekaragaman rendah terjadi bila hanya sedikit spesies yang mendominasi. Indeks keanekaragaman memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas ekosistem hutan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat. Dalam konteks perhutanan sosial khususnya pada aspek keberlanjutan, masyarakat didorong untuk melakukan penanaman untuk menambah tegakan baru (Kastanya et al., 2019), sedangkan aspek ancaman lebih menekankan peran masyarakat dalam mencegah kebakaran dan pencurian aset hutan. Keterlibatan aktif anggota KTH Fetomnasi dalam skema perhutanan sosial semakin menumbuhkan rasa memiliki terhadap kawasan hutan, sehingga memperkuat perlindungan dan keberlanjutan ekosistem secara berkelanjutan.
Berdasarkan hasil penelitian pada 24 plot ukur di KTH Fetomnasi, Desa Sillu, Kabupaten Kupang, ditemukan bahwa Indeks keanekaragaman jenis pada tingkat semai dan tiang tergolong sedang, dengan nilai H’ masing-masing sebesar 1,439 dan 1,848. Sementara itu, keanekaragaman pada tingkat pancang dan pohon berada dalam kategori sedang menuju tinggi, dengan nilai H’ sebesar 2,185 dan 2,144. Partisipasi masyarakat dalam KTH berkontribusi dalam pelestarian ekosistem hutan, yang dimungkinkan adanya akses legal terhadap pengelolaan hutan. Akses ini menumbuhkan rasa memiliki di kalangan petani, sehingga mereka turut menjaga hutan dari berbagai ancaman yang dapat merusak kelestariannya.