POLA KEMITRAAN USAHA PENGGEMUKAN TERNAK SAPI POTONG DI TIMOR BARAT
Abstract
Timor Barat merupakan salah satu sentra produksi ternak sapi potong nasional, khususnya bangsa sapi Bali (Leo-Penu et al., 2010). Ternak sapi yang dikirim ke luar Timor bagian Barat umumnya dihasilkan dari usaha penggemukan dilakukan secara tradisional, yang dikenal dengan istilah paron. Ternak sapi yang diparon adalah milik peternak atau kemitraan usaha penggemukan dengan pihak lain. Pola kemitraan adalah salah satu faktor penting penentu besaran income bagi peternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengindentifkasi seluruh bentuk kemitraan usaha penggemukan sapi di Timor Barat. Pengambilan data dilakukan dengan metode survei, observasi dan wawancara dengan perwakilan pengusaha dan peternak dari 34 perusahaan yang tergabung dalam asosiasi Persatuan Pengusaha dan Peternak Sapi (PEPPSI).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat delapan sistem kemitraan penggemukan sapi potong: 1) pembagian keuntungan dengan komposisi 50:50; 2) pembagian keuntungan dengan komposisi 60:40; 3) pembagian keuntungan dengan komposisi 70:30; 4) pembagian keuntungan dengan komposisi 80:20; 5) sistem kewajiban bunga 1% per bulan bagi peternak dari total harga sapi dengan lama pemeliharaan 1 tahun; 6) pembagian sapi hasil pemeliharaan dengan skema 5:1 dan 4:1; 7) sistem kontrak/gaji dengan besaran Rp. 1.500.000–2.000.000 tanpa batasan durasi waktu; dan 8) sistem upah dari pertambahan berat badan sebesar Rp. 20.000/kg PBB. Kondisi ini menunjukkan telah terjadi perkembangan sistem kerjasama dari sisi pembagian keuntungan dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya yang hanya menemukan dua pola kerjasama Pengusaha-Peternak sapi di Kabupaten Kupang yakni sistem bagi hasil dan sistem pemberian upah tetap per periode pemeliharaan (Jermias et al., 2006).
Penelitian ini juga mendapati bahwa dasar pembagian hasil usaha atau pendapatan peternak adalah: 1) keuntungan bersih setelah dikeluarkan seluruh biaya yakni ternak, obat-obatan, tali, dan biaya transport sapi ke lokasi pemeliharaan; 2) upah dalam bentuk nominal uang yang disepakati dalam satu periode pemeliharaan atau upah sesuai kenaikan berat badan; 3) pembagian upah dalam bentuk ternak sapi dari kelompok sapi yang digemukkan; dan 4) keuntungan bersih setelah dikurangi biaya ternak dan bunga sebesar 1% per bulan atas modal harga sapi.
Dari kedelapan sistem yang ada, sistem yang menjadi favorit bagi peternak adalah nomor 5 yakni bunga 1% per bulan dari total harga sapi dan diikuti dengan nomor 4 yakni pola 80:20 karena pendapatan yang lebih besar. Khusus untuk sistem nomor 4 ini, pemilik modal adalah Badan Usaha Milik Desa yang selain memiliki motivasi ekonomi juga motivasi pemberdayaan masyarakat untuk peningkatan pendapatan. Di sisi lain, sistem yang menjadi pilihan utama pemilik modal adalah nomor 8 yakni pola upah dari setiap kg PBB karena lebih mendapatkan kepastian keuntungan dalam usahanya. Dalam hal ini, pemilik modal adalah perorangan atau perusahaan.
Secara umum sistem kemitraan penggemukan sapi Bali di Timor Barat dapat dikategorikan menjadi tiga pola kemitraan yakni: 1) sistem bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh dengan variasi pembagian yang sebagian besar memberikan porsi lebih besar kepada peternak; 2) sistem pemberian upah baik itu dalam bentuk uang maupun ternak sapi; dan 3) sistem bunga dari nilai sapi yang digemukkan.