KONVERSI LAHAN SAWAH DAN TANTANGAN SOSIAL EKONOMI DALAM MEWUJUDKAN RANTAI PANGAN BERKELANJUTAN DI MANGGARAI BARAT
Abstract
Kabupaten Manggarai Barat merupakan salah satu sentra produksi padi di wilayah Flores barat yang berperan penting dalam menopang ketahanan pangan lokal di Provinsi NTT. Namun, dalam satu dekade terakhir, dinamika pembangunan ekonomi terutama di sektor pariwisata dan infrastruktur telah memicu perubahan signifikan terhadap struktur penggunaan lahan pertanian, khususnya sawah. Fenomena ini berdampak langsung terhadap pola produksi pangan, kesejahteraan petani dan keberlanjutan rantai pasok pangan di daerah tersebut. Kajian ini penting dilakukan guna memahami secara mendalam dampak konversi lahan sawah dan faktor sosial ekonomi yang melatarbelakanginya, serta bagaimana upaya pemerintah dan masyarakat dalam menjaga keberlanjutan rantai pangan di Manggarai Barat. Hasil kajian diharapkan dapat memberikan dasar ilmiah bagi perumusan kebijakan pembangunan wilayah yang lebih berpihak pada keberlanjutan pertanian dan kesejahteraan masyarakat lokal. Metode pengambilan data dilakukan dengan survei instansional, studi literatur dan hasilnya dianalisis dengan pendekatan campuran kuantitatif dan kualitatif (mixed methods) dengan model sekuensial eksplanatori (explanatory sequential design). Peneliti menggabungkan analisis data statistik dengan wawasan empiris dari lapangan yakni pandangan petani, aparat desa dan pemangku kebijakan lokal.
Hasilnya menunjukkan bahwa selama periode 2018 – 2024, terjadi penurunan luas lahan sawah dan produksi padi yang signifikan. Penurunan produksi padi berkorelasi langsung dengan penyusutan luas lahan sawah di sebagian besar kecamatan. Seperti di Kecamatan Komodo, luas lahan menurun dari 5.662,2 ha (2018) menjadi 2.307,5 ha (2024), diikuti oleh penurunan produksi dari 26.626,71 ton menjadi 13.734,90 ton. Hal yang sama terlihat di Kecamatan Lembor Selatan, di mana luas lahan menyusut dari 7.272,6 ha menjadi 3.676,0 ha dan produksi menurun dari 33.518,00 ton menjadi 21.235,34 ton. Pola ini menunjukkan bahwa konversi lahan sawah akan berdampak langsung terhadap kapasitas produksi pangan daerah.
Di sisi lain, produktivitas padi sawah menunjukkan tren peningkatan hasil per hektar, meskipun dalam waktu yang sama luas lahan sawah dan total produksi padi mengalami penurunan. Di tengah semakin menyusutnya lahan pertanian akibat konversi lahan sawah, petani di Manggarai Barat masih mampu meningkatkan efisiensi usahatani melalui intensifikasi dan perbaikan teknologi produksi. Rata-rata produktivitas padi meningkat dari 4,31 ton/ha pada tahun 2018 menjadi 5,43 ton/ha pada tahun 2024. Kecamatan Lembor dan Lembor Selatan merupakan dua wilayah dengan produktivitas tertinggi. Lembor mencatat peningkatan dari 5,69 ton/ha (2018) menjadi 6,89 ton/ha (2024), sementara Lembor Selatan naik dari 4,61 ton/ha menjadi 5,78 ton/ha. Namun peningkatan produktivitas cenderung menjadi strategi adaptif jangka pendek, bukan solusi struktural terhadap ancaman berkurangnya lahan sawah.
Fenomena ini mencerminkan adanya tekanan serius akibat konversi lahan pertanian ke sektor non-pertanian seperti permukiman, pariwisata dan infrastruktur, yang pada gilirannya mengancam keberlanjutan sistem pangan daerah. Dari sisi sosial ekonomi, berkurangnya lahan garapan memperkecil skala usaha tani, menurunkan pendapatan petani dan menggeser struktur ekonomi lokal dari basis agraris menuju ekonomi jasa, sehingga rantai pangan berkelanjutan menjadi semakin rapuh. Hasil ini menegaskan bahwa upaya menjaga ketahanan dan keberlanjutan pangan di Manggarai Barat memerlukan kebijakan perlindungan lahan sawah, penguatan kelembagaan petani dan transformasi sosial ekonomi yang inklusif agar keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan pangan dapat terwujud. Penurunan luas lahan sawah yang terus terjadi meskipun produktivitas meningkat menandakan bahwa kapasitas produksi lokal tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat secara mandiri. Akibatnya, terjadi peningkatan ketergantungan pasokan beras dari luar daerah, yang membuat sistem pangan lokal menjadi rentan terhadap fluktuasi harga dan pasokan eksternal.
Sementara itu, konversi lahan sawah menjadi kawasan pariwisata, perumahan dan infrastruktur memang mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, namun manfaatnya cenderung terkonsentrasi pada kelompok ekonomi menengah ke atas atau pelaku sektor pariwisata, bukan pada petani lokal yang kehilangan lahan. Ketimpangan ini memperlebar jurang sosial-ekonomi antarwarga dan melemahkan fondasi sosial pedesaan yang selama ini menopang produksi pangan. Maka, pembangunan pariwisata di Manggarai Barat perlu diarahkan pada model pariwisata berkelanjutan dan inklusif, yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga melindungi lahan pangan strategis dan memperkuat posisi petani dalam rantai pasok pangan lokal sebagai bagian integral dari sistem ketahanan pangan daerah.